Runtuhnya Era Squaresoft – “Kalau Sakaguchi tidak hengkang, mungkin Squaresoft tak akan pernah berubah sebesar ini.” Kalimat ini keluar dari mulut Nobuo Uematsu, sang komposer legendaris yang selama puluhan tahun menjadi nyawa di balik musik epik Final Fantasy. Bagi banyak gamer era 90-an, Squaresoft bukan sekadar developer—ia adalah simbol kejayaan RPG Jepang. Tapi semuanya berubah setelah kepergian Hironobu Sakaguchi, bapak Final Fantasy itu sendiri.
Ketika Musik dan Cerita Berjalan Seirama
Uematsu dan Sakaguchi adalah dua pilar utama dari era keemasan Squaresoft. Musik dan cerita yang mereka bangun bersatu menciptakan pengalaman gaming yang tak terlupakan. Dari Final Fantasy VI hingga Final Fantasy X, keduanya seolah menyatu dalam menciptakan dunia fantasi yang tak cuma indah secara visual, tapi juga emosional.
Namun segalanya mulai berubah ketika Sakaguchi meninggalkan Squaresoft pada awal 2000-an, tak lama setelah kegagalan proyek ambisius film Final Fantasy: The Spirits Within. Meski filmnya secara teknis mengagumkan, dari sisi bisnis itu adalah bencana. Dampaknya? Sakaguchi keluar dari perusahaan yang ia dirikan, dan Squaresoft pun mulai terguncang.
Squaresoft Menjadi Square Enix: Titik Balik yang Penuh Kontroversi
Setelah kepergian Sakaguchi, Squaresoft bergabung dengan Enix dan berubah menjadi Square Enix. Menurut Uematsu, inilah titik di mana perubahan besar terjadi—bukan cuma dari sisi bisnis, tapi juga dalam hal “jiwa” perusahaan. Uematsu merasa bahwa setelah merger, suasana kerja tidak lagi sama. “Kami seperti perusahaan biasa,” ungkapnya dalam sebuah wawancara. Tidak ada lagi semangat kekeluargaan dan idealisme yang dulu membakar semangat para kreator di dalamnya.
Hasilnya pun terlihat jelas di game-game yang dirilis setelahnya. Banyak fans merasa bahwa seri Final Fantasy kehilangan arah—cerita yang terlalu kompleks, gameplay yang overdesain, dan identitas yang semakin menjauh dari akar klasiknya. Walaupun game seperti Final Fantasy XV atau XVI tetap menarik secara visual, banyak gamer lama merasa “kosong” ketika memainkannya.
Sakaguchi, Mistwalker, dan Warisan yang Terlupakan
Setelah hengkang, Sakaguchi mendirikan Mistwalker dan merilis beberapa game seperti Lost Odyssey dan The Last Story. Meskipun tidak sepopuler Final Fantasy, game-game ini membawa kembali semangat naratif dan gameplay RPG klasik yang dulu ia ciptakan di Squaresoft. Banyak penggemar berat menganggap Lost Odyssey sebagai “Final Fantasy sejati” yang tidak pernah terjadi.
Sementara itu, Uematsu pun perlahan menjauh dari proyek-proyek utama Square Enix. Ia memang masih mengerjakan beberapa komposisi, tapi keterlibatannya tak lagi sebesar dulu. Kedekatannya dengan Sakaguchi tetap terjaga, dan mereka bahkan sempat berkolaborasi kembali dalam proyek Mistwalker.
BACA JUGA:
Rumah Sakit di Jakarta dengan Fasilitas Canggih dan Pelayanan Cepat
Ketika Kreativitas Tergantikan Strategi Bisnis
Pernyataan Uematsu soal runtuhnya Squaresoft bukan sekadar nostalgia, tapi juga refleksi dari bagaimana industri game kini lebih mengutamakan keuntungan daripada idealisme kreatif. Ia merindukan masa ketika para kreator bisa membuat game berdasarkan mimpi dan visi, bukan target pasar dan monetisasi.
Mungkin inilah yang membuat banyak gamer era lama merasa “kehilangan rumah”. Mereka bukan sekadar kehilangan nama Squaresoft, tapi juga kehilangan rasa—sensasi magis yang dulu menyertai setiap rilisan Final Fantasy, Chrono Trigger, hingga Xenogears.
Sebuah Era yang Tak Akan Kembali?
Runtuhnya Era Squaresoft – Kepergian Sakaguchi bukan hanya perginya seorang produser, tapi juga awal dari berakhirnya era keemasan Squaresoft. Nobuo Uematsu, sebagai saksi hidup era itu, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Tapi di balik rasa kehilangan itu, ada pelajaran penting: bahwa kreativitas sejati hanya tumbuh ketika idealisme dan kebebasan berkarya diberi ruang.
Dan mungkin, kita sebagai gamer juga harus belajar menerima bahwa masa lalu memang indah… tapi tak selalu bisa kembali.

